Usaha perudangan nasional sejak akhir tahun lalu
kembali menggeliat-setelah sempat terpuruk akibat
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga
100% pada akhir 2005. Kinerja bisnis si bongkok
nampaknya semakin bersinar tahun ini, sehingga
tidak sulit untuk merebut kembali predikat yang
dahulu populer di sandangnya yakni primadona ekspor.
Ada beberapa faktor yang mendorong kondusifnya
bisnis udang tahun ini. Pertama, dimasukkannya
udang sebagai salah satu komoditas utama dari 51
produk perikanan nasional yang memperoleh
fasilitas bea masuk (BM) ke Jepang tahun ini.
Fasilitas perpajakan itu diberikan, setelah
tercapai kesepakatan kerja sama ekonomi kedua
negara (Economic Partnership Agreement/EPA).
Sebelum ada fasilitas tersebut, ekspor udang
Indonesia ke Negeri Matahari Terbit dikenakan BM
4,8% (untuk udang segar) dan 7,3% untuk produk olahan.
epang merupakan negara tujuan ekspor udang
nasional terbesar kedua setelah AS dengan volume
45.574 ton pada 2005 atau 19,9% dari total impor
Jepang. Sedangkan realisasi ekspor udang pada
semester pertama tahun lalu ke negara itu tercatat 21.221 ton.
Penghapusan BM udang ke Jepang diperkirakan
mendatangkan nilai tambah bagi Indonesia sekitar
US$60 juta-US$80 juta per tahun. Faktor kedua
yang memamcu perbaikan kinerja bisnis udang
domestik adalah keluarnya keputusan pemerintah
mengenai perpanjangan larangan impor udang hingga Juni 2007.
Kebijakan ini diterbitkan untuk mengantisipasi
penyebaran virus penyakit yang mengganggu
kegiatan budi daya udang di dalam negeri.
Larangan tersebut ditetapkan dalam peraturan
bersama Menteri Perdagangan dengan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 40/M-DAG/PER/12/ 2006
dan PB.02/MEN/ 2006 pada 29 Des. 2006.
Larangan impor udang diberlakukan untuk komoditas
segar maupun beku dari jenis vaname, windu
(monodon), dan udang biru (stylirostris).
Kebijakan tersebut ditempuh karena peredaran
udang yang terserang virus di pasar internasional
masih cukup tinggi. Pemerintah baru membuka
kembali impor udang jika Indonesia telah siap
dengan ketersediaan vaksin dan obat-obatan.
Selain itu, penyebaran virus sudah tidak ditemui lagi.
Pasar masih luas
Selain faktor internal yang kondusif tadi, Ketua
Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia
(Gappindo) Herwindo melihat prospektifnya bisnis
udang tahun ini didukung oleh faktor eksternal
berupa masih luasnya pasar ekspor yang belum
digarap oleh pengusaha nasional. "Market share
kita di Amerika Serikat baru 8%, Uni Eropa 5%, dan Jepang 15%," ujarnya.
Penguasaan pasar udang RI di negara konsumen besar
Uni Eropa 5%
Epang 15%
Amerika Serikat 8%
Sumber: Gappindo
Potensi pasar yang masih luas tadi, merupakan
tantangan sekaligus peluang bagi pengusaha udang
nasional untuk memanfaatkannya. Namun, upaya
untuk meningkatkan ekspor udang tidak bisa hanya
mengandalkan peran dari pengusaha saja karena
kegiatan sektor ini terintegrasi dari hulu ke hilir.
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus turun tangan membenahi sektor
hulunya. Peran yang diharapkan pengusaha dari
pemerintah, menurut Wakil Ketua Umum Gappindo
Johannes Kitono, antara lain perbaikan prasarana
jalan menuju lokasi proyek pertambakan udang.
Sebab saat ini hampir sebagian jalan menuju
lokasi tambak udang-yang umumnya berada di dekat
pantai-rusak berat. Apa lagi saat musim hujan
tiba. Selain itu, menurut pengurus Gappindo,
untuk memperlancar produksi udang, pemerintah
perlu menyediakan bahan bakar (solar) yang cukup
dan dengan harga yang tidak terlalu tinggi.
Lantas bagaimana dengan peluang untuk mencapai
target produksi udang sebesar 300.000 ton tahun
ini seperti yang untuk pemerintah? Menurut Dirjen
Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan
Perikanan Made L. Nurdjana, target produksi udang
sebesar itu berpotensi direvisi menjadi lebih rendah.
Peran Dipasena
Hal itu dimungkinkan karena program revitalisasi
tambak PT Dipasena Citra Darmaja yang ditargetkan
memberikan kontribusi 17% terhadap produksi udang
nasional hingga kini masih terkendala.
Produktivitas petani plasma di bumi tambak
Dipasena mengalami penurunan drastis menjadi 100
ton per bulan dari panen awal sebesar 40 ton per
hari, akibat tertundanya program revitalisasi yang dicanangkan pemerintah.
Perusahaan pertambakan udang yang disebut-sebut
terbesar di Asia Tenggara ini limbung diterpa
krisis moneter, sehingga masuk dalam program
penyehatan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Dua kreditor, PT Renaissance Capital Asia dan PT
Recapital Advisors, sepakat menyuntikkan Rp2,3
triliun untuk memulihkan kinerja perusahaan ini.
Namun dari total komitmen tersebut, baru
terealisasi Rp520 miliar untuk revitalisasi.
Kelanjutan proyek revitalisasi tambak udang di
areal 16.250 hektare yang melibatkan 7.673
petambak plasma tersebut, hingga kini menggantung.
Pengurus Gappindo menyayangkan berlarut-larutnya
penyelesaian Dipasena. Sebab sebagai industri
udang terintegrasi, menurut Kintono, Dipasena
sangat diandalkan perannya untuk meningkatkan ekspor udang nasional.
Untuk itu, dia menyarankan pemerintah untuk
mencari penyelesaian terbaik bagi Dipasena
seperti mencarikan kreditor atau solusi pendanaan
lainnya. Bantuan pemerintah sangat penting karena
selama ini upaya penyelesaian perusahaan tersebut
terkesan selalu mendapat kritik.
Bila berbagai bantuan yang diberikan pemerintah
tidak juga membawa hasil, menurut Herwindo, maka
pemerintah bisa mencari investor baru yang
bonafide. Dengan kata lain, pemerintah harus
tunjukkan keseriusan untuk penyelamatan Dipasena.
Sebab di tingkat teknis, Departemen Kelautan dan
Perikanan telah mendesak agar program
revitalisasi tambak Dipasena segera
direalisasikan untuk menambah produksi udang nasional.
Menurut Dirjen Perikanan Budidaya, Dipasena mampu
memproduksi udang 50.000 ton per tahun. Jumlah
produksi tersebut berarti seperenam dari target
produksi udang nasional. Jadi bagaimana kalau
program revitalisasi Dipasena tetap tidak jalan?
"Ya terpaksa target produksi udang tahun ini
harus direvisi," ujar Made L. Nurdjana.
bisnis udang terus menjanjikan... cuma hrs waspada terhadap hama penyakit.... salam kenal
ReplyDeletesay baru beli lahan dekat sungai, mau sy mangun tambak khususnya tambak udang, baikngak?
ReplyDelete